Sabtu, 07 Juni 2008

BBM, MAHASISWA, FPI DAN MACGYVER DARI MAKASSAR

Pagi tadi, Sabtu (7/6), rumah om saya didatangi oleh seorang bapak, seorang veteran. Alasan kedatangannya cukup menyedihkan bagi saya : untuk 'menjual' poster bergambar Bung Karno dan Bung Hatta. Karena kasihan, saya serahkan saja empat lembar uang ribuan yang sedianya buat ongkos naik ojek ke warnet terdekat. Posternya saya kembalikan, hanya menambah sampah kalau disimpan. Bapak itu menerima saja sambil mendoakan supaya om saya naik pangkat (padahal om saya bukan tentara meskipun kami menetap di dekat kompleks militer).
Apa?!

Sesulit itukah kehidupan sekarang hingga seorang pensiunan TNI sampai harus menjual poster murahan (murah dari segi harga dan kualitas cetakannya, bukan gambar tokohnya)? Terlepas dari apakah benar bapak itu veteran atau bukan, tetap saja saya prihatin melihat seseorang 'mengemis' (maaf, kalau pilihan kata ini kasar) secara terselubung seperti ini. Mirip pengamen bersuara cempreng (yang sama sekali tidak menghibur) yang mengharap recehan.
Kelihatannya, setelah harga BBM naik, akan semakin banyak 'pengemis' semacam ini yang berkedok sebagai 'penjual'. Baik 'penjual' suara seperti pengamen maupun 'penjual' poster seperti bapak tadi. Karena tampaknya akan semakin banyak pula pengangguran yang akan menjadi saingan saya dalam mencari kerja (ya, saat ini saya memang menganggur setelah tiga kali terpaksa berhenti bekerja), saya pun jadi terpikir untuk ikut-ikutan pengamen. Lumayan, ngejreng-ngejreng dengan vokal fals, bisa dapat gopek. Kalau dalam sehari ada 30 orang yang memberi gopek, sebulan sudah dapat 1,5 kali dana BLT untuk 3 bulan. Lumayan... banyak.
Tapi... tidak, ah. Saya berjanji, tidak akan mengemis. Cukup orang lain. Saya jangan menambah kesusahan masyarakat dengan ikut-ikutan mengemis. Status pengangguran lebih dari cukup untuk membuat saya kehilangan muka. Tidak perlu ditambah dengan meminta-minta. Asalkan masih bisa makan dan punya uang sedikit untuk mengirimkan lamaran kerja, saya sudah cukup puas. Untuk saat ini, entah nanti...
Padahal, kalau dipikir-pikir, sebenarnya mencari uang di Indonesia tidak sulit-sulit amat. Karena di negeri ini yang salah dipertahankan dan yang benar disingkirkan, kita sebenarnya bisa mendapatkan segalanya asalkan mau 'mengotori' tangan. Kalau mau cari dana tanpa mengemis, sebenarnya gampang, kok. Asal nekad saja, jangan pakai otak, tapi pakai otot...
Caranya?
Berbuat anarkis, memaksakan kehendak dengan menyerang pihak lain (yang mungkin juga tidak sepenuhnya benar) dengan alasan membela agama (isu yang bisa membuat kita jadi super 'sensitif'), ditangkap polisi, lalu mendapatkan simpati dari pihak-pihak yang juga merasa anarkisme itu benar selama dalam konteks membela agama. Kemudian... zapp! Uang jutaan rupiah terkumpul untuk membantu mereka yang suka memaksakan kehendak tersebut.
Sumpah, kemarin waktu menonton TV, saya tidak habis pikir, kok ada sebagian masyarakat yang mau mendonasikan sebagian uangnya untuk membantu Front Pembela Islam (FPI)? Memang sih, itu hak mereka dalam menggunakan uangnya. Tapi yang membuat saya heran, kok FPI mereka bantu seperti itu sementara saat mahasiswa dan pihak-pihak lain yang menolak kenaikan BBM dituding anarkis bahkan 'kriminal', mereka diam saja? Baik mahasiswa (setahu saya, mahasiswa hanya melawan polisi, bukan menyakiti secara fisik masyarakat yang tak berdaya) maupun FPI (yang jelas-jelas memukuli orang sipil hingga tak berdaya), sama anarkis-nya. Mahasiswa membela kepentingan masyarakat luas (anti BBM naik harga) seperti halnya FPI 'membela' kepentingan masyarakat, terutama masyarakat Islam (padahal Allah sudah menjamin bahwa Islam akan tetap ada di muka bumi). Sama saja, 'kan?
Tapi kenapa perhatian dan perlakuan yang mahasiswa dan FPI terima, berbeda satu sama lain?
Seandainya saya punya uang dan memang ada pihak yang mau memfasilitasi, saya mau kok, menyumbang untuk mahasiswa yang dituduh anarkis itu. Yah, paling-paling menyumbang air mineral selama mereka berdemonstrasi. Sayangnya, saya hanya pengangguran. Saya hanya bisa berdoa, semoga sebentar lagi, masyarakat tergerak hatinya untuk ikut mendukung mahasiswa, kalau perlu menyumbang makanan dan minuman seperti sepuluh tahun lalu saat mahasiswa dari generasi saya (saya sempat berdemonstrasi menuntut penurunan rezim Orde Baru di Makassar, meskipun saat itu hanya 'anak bawang') berdemonstrasi.
Gemas melihat orang-orang mengumpulkan uang lebih dari 5 juta rupiah untuk membantu FPI. Sekali lagi, saya tahu, itu hak mereka. Tapi bukankah tindakan itu seolah membenarkan tudingan bahwa Islam memang lekat dengan kekerasan, mendukung pelaku kekerasan?
Padahal, dengan uang sejumlah itu, para mahasiswa Unhas Makassar (almamater saya!) dapat membuat robot-robot yang berguna bagi masyarakat (Kompas Sabtu, 7 Juni 2008). Dalam artikel berjudul MACGYVER DARI MAKASSAR, disebutkan bahwa Syamsuar dan kawan-kawan, mahasiswa Teknik Mesin, sempat kekurangan dana untuk penelitian mereka. Dengan fasilitas laboratorium yang jauh dari lengkap, mereka berhasil mengembangkan robot pemadam kebakaran, pengangkut sampah, pengecat, line follower dan yang terbaru, mengerjakan robot penjinak bom bekerja sama dengan Departemen Pertahanan. Dana 4-6 juta rupiah dibutuhkan untuk membeli bahan untuk menghasilkan robot. Dana yang jumlahnya hampir sama dengan dana yang terkumpul untuk membantu FPI.
Saya juga jadi ingat, beberapa tahun lalu, di harian yang sama, diberitakan mengenai lomba bagi penemuan-penemuan sederhana yang berguna bagi masyarakat yang diadakan di NTB. Kalau tak salah, ada penemuan sederhana berharga ratusan ribu rupiah yang sangat berguna dalam bidang perikanan. Dengan uang 5 juta rupiah, kita sudah dapat memperoleh sekian unit peralatan sederhana tersebut yang tentunya akan sangat berguna bagi masyarakat banyak.
Sekali lagi, saya tidak mengecam, apalagi melarang orang untuk membantu FPI (siapa sih, saya?) karena itu hak masing-masing. Saya hanya mau berandai-andai, seandainya masyarakat mau membantu pengembangan iptek seperti membantu FPI, bayangkan manfaat yang dapat kita peroleh. Jangan bilang, membantu pengembangan iptek bukan tugas kita. Toh membantu pelaku anarkisme juga bukan tugas kita. Jadi, kalau kita mau berkorban untuk membantu FPI, mengapa kita tidak turut membantu manusia-manusia Indonesia kreatif seperti mahasiswa di Makassar dan masyarakat NTB? Toh karya mereka sudah terbukti ampuh, tidak seperti blue energy yang belum terbukti kebenarannya.
Atau, gampangnya, dengan uang sejumlah 5 juta rupiah, segelintir anak yatim piatu dan miskin sudah bisa makan lebih layak dan bersekolah. Uang sejumlah itu juga sudah sangat-sangat membantu fakir miskin dan menimbulkan senyum di panti jompo. Atau setidaknya membantu seorang veteran meski hanya beberapa lama hingga tak perlu lagi 'mengemis'.
Masih banyak orang di sekitar kita yang perlu (dan lebih pantas) dibantu.
Terserah kalau tulisan ini dianggap mendukung Ahmadiyah dan AKKBB. Saya bukan simpatisan mereka dan tak menutup mata bahwa mereka mungkin punya 'dosa' (AKKBB menggelar aksi tanpa seizin aparat kepolisian) juga. Namun, mengapa harus memerangi perbuatan 'dosa' dengan melakukan 'dosa' lain? Dan mengapa mendukung para pelaku anarkisme (sekalipun mengatasnamakan agama) layaknya pahlawan? Mengapa tidak mendukung mereka, para korban ketidakadilan dan kemiskinan yang mencoba bertahan hidup dan memberi sumbangsih bagi Tanah Air?
Ya, mengapa?