Minggu, 21 Juni 2009

GOELALI CHILDREN'S FILM FESTIVAL 2009 : SEPI PENGUNJUNG PADAHAL SANGAT MENARIK (1)

Dari Depok pada Minggu pagi 14 Juni 2009, saya naik kereta dan turun di Stasiun Jakarta Kota (Beos). Lumayan juga perjuangan yang harus saya lalui, harus berdiri selama hampir satu jam sambil menjaga tas dan HP dari ancaman copet yang senantiasa mengintai.

Tiba di Beos, saya cepat-cepat menyeberang, memasuki Museum Bank Mandiri dan langsung menemukan loket ticket box dan informasi. Acara yang saya tuju pada hari itu adalah mengikuti sesi forum diskusi bertema "Film & Anak-anak" yang menghadirkan pembicara Chicha Koeswoyo (Mantan Artis Cilik & Board Advisor Goelali Foundation), Mutiara Padmosantjojo, S. PSi M.Sc (Spesialis Pendidikan Anak Usia Dini) dan Ursula Tumiwa (Board advisory Memmber & Koordinator Festival) dengan moderator David Chalik (Artis & Presenter).

Acara yang sedianya dimulai pada pukul 12.00 tersebut molor hingga setengah jam. David datang agak terlambat dan sempat bertanya pada saya "Mbak, di sini tempat forum diskusi-nya, ya?" Saya mengangguk saja meski heran, mengapa dia bertanya pada saya padahal saya bukan panitia sementara di sekitar itu jelas-jelas ada panitia festival berkeliaran. Atau, apakah karena saat itu saya memakai t-shirt putih, "seragam kebesaran" panitia?

Ah, sudahlah. Setelah menunggu peserta diskusi yang jumlahnya kurang dari setengah kapasitas kursi yang tersedia, diskusi pun dimulai. Bagi saya, diskusi itu agak membosankan dan kurang menambah wawasan. Sebab, mirip obrolan arisan ibu-ibu. Seorang ibu seksi (kalau tidak salah Sari Koeswoyo), mengusulkan agar kaum ibu membuat petisi pada produser agar membuat film anak dan seterusnya. Namun, intinya para pembicara prihatin atas kurangnya film anak-anak. Kalau pun ada, adalah film branding seperti Liburan Seru! yang disponsori sebuah merek susu. Chicha juga curhat tentang pengalamannya menonton Laskar Pelangi bersama anak-anaknya. Anak lelakinya mengatakan bahwa film tersebut bagus, sementara anak perempuannya menyebut bahwa film tersebut adalah film paling buruk. Saat itu Chicha langsung shock dan akhirnya menonton lagi Laskar Pelangi hanya berdua dengan anak perempuannya tersebut. Setelah didampingi dan diberi penjelasan, barulah sang anak memahami pesan dari film tersebut.

Usai acara, saya keluar dari ruang diskusi nyaris tanpa kesan. Bersama Anita, teman baru yang juga mengikuti program forum diskusi tersebut, kami makan siang di kantin museum. Setelah itu, kembali untuk mengikuti forum diskusi berikutnya yang bertema "Industri Film Anak-anak (Indonesia)" di ruangan yang sama. Lagi-lagi, acara molor lebih dari setengah jam., atau mungkin sampai satu jam. Anita sampai gelisah. Sebab, setelah acara itu, ia berniat menonton "Film Pendek Indonesia-Kawan Setia" pada pukul 15.30. Jika diskusi terlambat dimulai, bisa jadi dia akan terlambat pula untuk menonton film.

Akhirnya acara pun dimulai. Masih dengan David Chalik sebagai moderator, diskusi ini menampilkan pembicara antara lain Jujur Prananto (Penulis Skenario “Sherina), Arturo GP (Sutradara & Editor Film) dan Drs. Zamris Habib (Pengamat Pendidikan & Komunikasi). Dengan materi yang disiapkan lebih matang dan konsep yang mirip kuliah umum, saya merasa bahwa diskusi yang diisi oleh praktisi berpengalaman ini akan lebih menarik daripada diskusi sebelumnya. Anita juga menjadi lebih bersemangat mengikutinya.

Sayang, Anita harus meninggalkan forum yang mulai menghangat itu karena ingin menonton film. Saya pun mengikutinya meskipun belum memegang tiket atau voucher. Sebab, menurut panitia, untuk film tersebut sudah fully booked dan nama saya masuk daftar tunggu. Meski demikian, saya tetap berniat nonton. Siapa tahu, ada penonton yang membatalkan niatnya menonton dan kursi pun diberikan pada saya.

Akhirnya saya masuk juga ke mini teater untuk menonton karena pada saat-saat terakhir, jumlah penonton masih bisa dihitung dengan jari. Sepi.... Membuat saya heran dan tercengang. Apakah karena yang akan tayang adalah film pendek yang mungkin kurang dikenal, maka jumlah penonton menjadi sedemikian sedikitnya?

Sudahlah, yang penting saya bisa menonton, bukan? Lebih penting lagi, saya jadi tahu, bahwa sebenarnya pembuat film Indonesia adalah orang-orang yang profesional dan tentu saja mampu menghasilkan karya bermutu baik. Rangkaian 6 film pendek tersebut adalah sebagai berikut.

CHENG CHENG PO
Film karya BW Purbanegara ini adalah film bertema "Bhinneka Tunggal Ika". Filmnya sendiri berkisah tentang Markus, Tiara dan Tahir yang ingin membantu Han, sahabat mereka yang kesulitan membayar SPP (kalau tidak salah, anak SD zaman sekarang tidak lagi bayar SPP, deh...). Padahal, bisnis bakpao orang tua Han sedang berada dalama kesulitan karena kurang laku. Akhirnya, bermodalkan barang-barang 'pinjaman' yang diambil tanpa seizin pemiliknya (orang tua mereka sendiri!), anak-anak itu membuat barongsai dan menari-nari di depan lapak orang tua Han. Singkat kata, aksi mereka yang dibantu modin mushalla setempat, menarik perhatian orang untuk membeli bakpao. Han pun dapat membayar SPP-nya. Saya agak bingung dengan film ini. Di sisi lain mengajarkan kekuatan persahabatan dan ke-bhinneka-an, namun di sisi lain juga mengajarkan agar anak boleh saja 'meminjam tanpa izin' barang milik orang lain--sekalipun milik orang tua sendiri--selama akan digunakan untuk kebaikan. Yah... besok-besok, Robin Hood akan menjadi pahlawan yang nyata, bukan lagi sekadar cerita rakyat yang sulit dibuktikan kebenarannya.

AKU, KORAN DAN DVD
Karya Millaty Ismail ini minim dialog. Ceritanya tentang penjual koran bernama Abdullah yang menghabiskan uang hasil kerjanya untuk membeli DVD bajakan video klip Peterpan dan 'menyogok' penjual DVD untuk memutarkannya. Sepintas mirip pemborosan. Tapi, setiap orang berhak menggunakan uangnya dengan cara yang ia sukai, bukan?

JALI JONI
Karya Isha Hening ini benar-benar film untuk anak. Ada pesan yang mengena bahwa kita jangan mengabaikan teman atau saudara kita. Kisahnya sendiri mengenai Jali, yang diabaikan oleh teman sekolah dan kakaknya, Maul. Karena kecewa, Jali bersahabat dengan seekor kambing yang ia beri nama Joni. Persahabatan itu membuat Jali tidak mau lagi makan sate kambing, lebih suka sayuran dan pernah mencuri susu adik bayinya untuk diberikan pada Joni. Meskipun pada akhirnya Jali harus berpisah dengan Joni, film berakhir dengan manis. Sebab, Maul akhirnya sadar bahwa ia tidak boleh mengabaikan adiknya. Film ini, meskipun alurnya agak lambat, namun tema persahabatan yang sederhana membuatnya lebih menarik daripada tema 'besar' seperti bhinneka tunggal ika.

AKU SAYANG MARKUS
Karya anak IKJ dengan sutradara Danial Rifki. Film ini bagus dan sempat membuat Anita menitikkan air mata sementara saya sendiri tidak habis pikir dengan kontradiksi yang ditampilkan walaupun hanya sekilas. Ceritanya tentang dua sahabat, Ajeng dan Markus. Markus yang sakit AIDS, dikucilkan dari pergaulan dan dilarang bersekolah. Hanya Ajeng yang tetap mau berteman dengannya, bahkan mengajari Markus berbagai pelajaran sekolah selama Markus tidak bersekolah. Markus berjanji akan mengajak Ajeng naik bianglala, namun tidak sempat ditepati karena Markus akhirnya meninggal dunia. Nah, di sinilah yang jadi pertanyaan saya. Dalam sebuah adegan, ditunjukkan bagaimana Markus dengan teratur meminum obat untuk menjaga kesehatannya. Namun dalam adegan lain, Markus dan Ajeng, tampak sedang nongkrong di atap rumah pada malam hari. Akibatnya, Markus baruk-batuk, sakit. Kita tahu, AIDS adalah penyakit yang menyerang kekebalan tubuh manusia. Namun mengapa Markus dibiarkan bermain-main di atap rumah yang tentu saja tidak baik bagi kesehatannya? Lagipula, apa alasannya sampai Ajeng dan Markus harus naik ke atap segala selain untuk mengobrol? Untuk melihat bintang seolah-olah sudah berada di atas bianglala atau apa? Ada yang bisa menjawab?

TROPHY BUFFALO
Film karya Vanni Jamin ini adalah satu dari dua film terbaik dalam rangkaian film pendek ini. Berkisah tentang permusuhan dua keluarga di Sumatera Barat yang mempertaruhkan harga diri melalui adu kerbau. Anak-anak keluarga tersebut kemudian berupaya mendamaikan keluarga dan berusaha menyudahi adu kerbau yang menyiksa binatang tersebut. Meski heran bagaimana Pandi, salah seorang tokoh utama cerita, bisa lolos dari kamar saat dikurung oleh ayahnya, saya jadi heran, mengapa cerita ini tidak dianggak menjadi film panjang saja? Cerita sebagus ini hanya dapat dinikmati dalam waktu singkat, rasanya sayang....

HARAP TENANG, ADA UJIAN!
Film terbaik yang memang pantas diletakkan sebagai film penutup. Karya Ifa Isfansyah (Garuda di Dadaku) ini memang kocak. KIsahnya mengenai anak Yogya yang polos dan sebentar lagi akan mengikuti ujian akhir. Saat gempa Yogya terjadi pada 2006, sang anak sedang belajar sejarah, khususnya tentang masa penjajahan Jepang. Menemukan rumahnya hancur dan ayahnya tewas, sang anak mengira dua orang sukarelawan Jepang sebagai pelakunya. Ia mengira Jepang hendak kembali menjajah Indonesia dan bertekad mengusir Jepang. Saya tertawa sampai mengeluarkan air mata saat menonton film ini. Film yang sangat bagus dan membuat saya jadi ingin menonton karya Ifa Isfansyah yang lain!

Saya kembali ke Depok saat sore menjelang. Meski pada awal kedatangan sempat bete karena agak kecewa dengan forum diskusi-nya, namun Kawan Setia membuat saya tersenyum-senyum sendiri. Ternyata, pembuat film kita sebenarnya sudah jago-jago, kok.

Tidak ada komentar: