Rabu, 10 Juni 2009

PELATIHAN KOMERSIL

Ada teman saya, yang sama-sama ngidam mau jadi penulis skenario film (TV mau pun bioskop, sama saja, yang penting menulis skenario!), curhat pada saya. Dia mengaku sebal setiap kali menemukan informasi mengenai workshop mau pun training penulisan skenario yang bayarannya selangit. Sebab, selain tidak mampu membayarnya (sepertinya ini alasan utama mengapa dia sebal), teman saya itu menganggap bahwa dalam menuntut ilmu, seseorang jangan dipersulit, termasuk dalam urusan biaya. Hm.... alasannya sama saja, sebenarnya. Bahkan, teman saya 'menuding', gara-gara biaya selangit itu, semakin sedikit orang yang bisa mengikuti pelatihan, sehingga semakin sedikit pula orang-orang yang dapat menulis skenario. Pada gilirannya, semakin sedikit pula karya-karya berkualitas yang dapat dihasilkan (sekalipun saya tidak tahu, apa makna dan batasan 'kualitas' yang dimaksud)....

Waktu itu saya mengamini meskipun tidak sampai menggebu-gebu seperti dia. Tapi, dalam hati saya ingin bertanya, "kalau bayarannya murah meriah, apa yakin bisa menyerap ilmu yang diinginkan?" Maksud saya, kalau sesuatu kita dapatkan dengan mudah (dan murah, dalam kasus ini), apakah kita akan menghargainya? Jangan-jangan malah seperti salah seorang sepupu saya yang bisa jadi tenaga honorer di sebuah instansi pemerintah atas bantuan keluarga yang kebetulan sudah menjadi pejabat di instansi tersebut. Hasilnya, sepupu saya itu malasnya minta ampun dalam urusan masuk kerja. Sebab, ya itu tadi, karena mendapatkan pekerjaan dengan sangat mudah, tanpa harus bersusah payah seperti pencari kerja lain. Bahwa kemudian sepupu saya itu akhirnya butuh waktu delapan tahun (lama juga, ya) untuk diangkat jadi PNS, saya malah menganggapnya sebagai sebuah keajaiban dunia yang kesekian juta. Bagaimana tidak ajaib kalau selama menjadi tenaga honorer, sepupu saya itu lebih banyak bolosnya daripada bekerja!

Sudahlah mengenai sepupu saya tersebut. Saya hanya memberi gambaran bagaimana sesuatu yang mudah diperoleh justru dapat melenakan. Jujur, saya sendiri lebih senang kalau biaya workshop itu murah meriah. Tapi masalahnya kembali pada diri kita sendiri, apakah kita akan serius mengikuti workshop atau pendidikan lain dalam bidang apapun?

Jawaban pertanyaan ini saya dapatkan saya menjadi pengajar privat untuk murid SD, SMP dan SMU semasa kuliah dulu, kurang lebih delapan atau sembilan tahun lalu. Dasar anak-anak, mentang-mentang gurunya yang datang untuk mengajar, pada kali pertama pertemuan saya dengan mereka, mereka malas-malasan belajar. Mereka menjadi lebih serius setelah saya 'unjuk taring' dengan 'memaksa' mereka ikut membahas soal-soal fisika dan matematika dari buku teks. Jangan main-main ya dengan ibu guru gendut ini! :D

Intinya sobat, apa pun yang kita peroleh dengan mudah, bisa jadi bumerang buat kita jika kita tidak menyikapinya dengan bijaksana. Saya pernah ikut 'workshop' penulisan skenario gratisan dari sebuah PH yang katanya mau mencari anggota tim kreatif. Dengan modal pengalaman menulis 40-50 an cerpen anak dan remaja di harian lokal di kota tempat saya kuliah, saya pede sekaligus senang-senang saja dengan 'workshop' tersebut. Meskipun untuk mencapai kantor PH bersangkutan, saya harus jumpalitan selama hampir dua minggu naik turun angkutan umum selama lebih dari dua jam. Pulangnya juga begitu, menghabiskan waktu sangat lama.

Capek dan menghabiskan ongkos jalan dan makan, tapi saya bertahan karena berharap mendapatkan ilmu dan semoga juga, diterima menjadi anggota tim kreatif. Selama seminggu lebih, saya dan peserta lain dibuat hampir bosan dengan tugas yang melulu membuat sinopsis dari puluhan episode sinetron seri yang ditulis PH bersangkutan tanpa ada kejelasan, apakah kami diterima atau tidak, dan yang tak kalah penting, apakah kami jadi diajari cara menyusun skenario atau tidak. Akhirnya kami menyerah karena berbagai alasan. Saya sendiri menyerah karena sudah tak punya uang lagi untuk ongkos jalan (jujur-sejujur-jujurnya, nih!). Sementara tidak ada penghasilan karena selama mengikuti workshop, saya tidak bisa bekerja (pekerjaan saya waktu itu? Ada, deh...) karena workshop berlangsung seharian dan ditutup dengan acara 'nonton bareng' sinetron seri yang ditulis PH tersebut, di dua stasun TV swasta nasional.

Waktu itu saya sempat kesal karena sudah bersusah payah mengorbankan waktu, tenaga, pikiran dan uang, namun tak mendapatkan apa yang diharapkan, yakni ilmu penulisan skenario yang mumpuni. Namun setelah saya pikir-pikir lagi, bukankah ilmu itu sudah saya dapatkan setiap kali saya menyimak dan merangkum isi skenario sekian puluh episode tersebut? Daripada mendengarkan materi dari pengajar sampai kuping tebal tapi tidak juga mengerti, bukankah lebih baik kita belajar sendiri dan mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan kita? Saya memang tipe orang yang dalam belajar agak lamban tapi begitu saya memahami sesuatu, saya tidak akan melupakannya sampai mati. Lebih baik saya belajar sendiri tanpa gangguan dari orang lain daripada belajar ramai-ramai, tapi malah susah 'masuk'-nya. Itu menurut saya, lho....

Walhasil, saya sekarang bersyukur pernah mengikuti 'workshop' tersebut meskipun sebelumnya sempat merasa dikerjai juga. Sampai sekarang saya tidak tahu, apa maksud PH bersangkutan tidak memberi kejelasan sekalipun kami sering bertanya mengenai tujuan 'workshop' tidak komersil tapi 'kurang jelas' tersebut. Saya malah berterima kasih, sudah diberi kesempatan membaca dan merangkum puluhan episode skenario sinetron seri yang tidak sembarang orang boleh melihatnya. Setelah bersusah payah dan sempat menyerah, akhirnya saya bisa mengambil hikmahnya juga.... Intinya, positive thinking saja, biar tidak merasa kecewa....

Maka, benarlah adanya, tiada yang gratis di dunia ini. Kalau mau mendapatkan sesuatu, termasuk ilmu, ya harus berkorban. Bisa korban uang, korban tenaga, korban waktu sampai korban pikiran plus makan hati. Sekalipun ada yang namanya sekolah gratis, murid-muridnya ternyata adalah 'korban' kemiskinan dan pemiskinan sehingga dapat dikatakan bahwa mereka memang sudah berkorban banyak sebelum dapat mengikuti pendidikan gratis tersebut.

Tapi, meskipun kurang setuju dengan alasan teman saya yang sebal terhadap pelatihan penulisan skenario bertarif mahal (untuk ukuran kami berdua, sih...), saya memberi usul : cari dan ikutilah workshop yang bertarif terjangkau, kalau perlu yang gratisan selama dia memang memenuhi syarat mengikuti pelatihan gratis tersebut. Bukankah dalam hidup ini, kita punya banyak pilihan? Mau makan pizza tapi tidak mampu membeli pizza buatan Pizza Hut atau Mazzaro (atau Mazzarno, sih? Saya lupa namanya), gampang. Banyak kok, penjual pizza di pinggir jalan yang menawarkan pizza dengan harga miring. Begitu juga dalam belajar menulis skenario, ada kok workshop dengan biaya tak sampai jutaan rupiah. Kalau mau tahu workshop murah tersebut, cari sendiri informasinya di internet, ya....

Yang jelas, setelah mendengarkan curhat (atau lebih tepat disebut kritik?) dari teman saya itu, kami jadi punya cita-cita yang mudah-mudahan mulia. Kami berjanji (insya Allah bisa ditepati), kalau besok-besok bisa jadi penulis skenario, kami akan membantu siapa saja yang ingin belajar menulis skenario dengan memberikan pelatihan yang 'ramah kantong atau dompet'. Kalau perlu, seperti kata Kinoysan (kira-kira, soalnya saya lupa bagaimana persisnya) dalam salah satu bukunya, sekalipun tidak dibayar, isi saja pelatihan. Karena dengan begitu, selain membagi ilmu dan mengasah kemampuan kita, kita bisa mendapatkan pahala. Amiiin....

Tapi ada satu masalah. Kami belum juga jadi penulis skenario. Jadi, bagaimana melatih orang lain kalau kemampuan kami belum terbukti?

Aduuuh, bahkan untuk berbuat baik pun, ada jalan terjal yang harus dilalui. Makanya, doakan dong, supaya saya dan teman saya bisa jadi penulis skenario ^_^ Tolong, ya....

Tidak ada komentar: